Sejarah Angka Nol (Part 2)

Artikel ini adalah lanjutan dari Sejarah Angka Nol (Part 1).
“Sebelum bapak menjawab pertanyaan mu, Tom, bapak akan lanjutkan dulu sejarah tentang Brahmagupta dan angka nolnya! Ok?” tanya Pak Zero pada siswa-siswinya, khususnya Tom yang sudah bertanya.
“Yaaaaaaaaa……….. bapak, enggak asyik, ah!!!!” spontan Jerry berteriak, karena sejak tadi sudah tak sabar menahan rasa ingin tahunya. Kontan, seisi kelas melirik padanya. Jerry hanya bisa cengar-cengir disaksikan kawan-kawannya.
“Konon, walau angka nol dilambangkan berupa titik, Brahmagupta sudah secara sistematis mengenal sifat-sifat operasi bilangan dengan angka nol, khususnya operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian.” kata Pak Zero melanjutkan kisah sejarah angka nolnya.
Pak Zero sengaja diam sebentar, menunggu reaksi murid-muridnya, apakah mereka menyimak dengan baik atau hanya terbengong-bengong saja. Pak Zero berharap ada siswa atau siswinya yang menanyakan tentang operasi pembagian dengan nol. Tapi, harapannya tidak terwujud. Para siswanya tetap diam, menantikan kelanjutan kisah sang angka nol.
Pak Zero tidak kehilangan akal. Untuk menggali sifat kritis para siswanya, dia memancing dengan pertanyaan.
“Ok, di antara kalian, coba siapa yang paling mengerti tentang angka nol dan sifat operasi-operasi padanya?”


Sejenak seisi kelas diam.
Tiba-tiba, Jerry kembali membuat ulah. “Pak, setahu saya, sejak SD dulu, si Udin tuh yang paling akrab dengan nol!”
“Maksud mu bagaimana Jerr?” tanya Pak Zero dengan tampak sabar, karena sebetulnya menahan rasa kesal.
“Maksudnya, setahu saya, si Udin sering sekali dapat nol dalam pelajaran matematika, Pak!!!
“Ha ha ha ha ha….” tanpa dikomando, hampir seisi kelas, kecuali Udin, tertawa mendengarnya. Untungnya, Udin tidak mudah sakit hati sebab sudah tahu sifat Jerry yang memang suka meledek dan bercanda sejak SD dulu. Jadi, Udin senyam-senyum saja, santai, sambil menunggu kesempatan membalasnya.:)
“Sudah-sudah! Jangan suka ngeledek! Yuk, kita lanjutkan ceritanya!” Pak Zero menengahi keadaan.
***
“Pak, apakah maksud dari sifat operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian dengan nol itu?” tanya Rahma, siswi yang duduk paling depan, tepat di depan meja Pak Zero. Pak Zero yang semula akan melanjutkan kisah angka nol, mengurungkan sementara.
“Menurut mu bagaimana?” Pak Zero balik bertanya. Rahma tersenyum, berpikir, lalu mencoba mengungkapkan pendapatnya.
“Yang saya tahu sih, kalau bilangan ditambah atau dikurangi dengan nol, ya hasilnya bilangan itu sendiri!” jawab Rahma dengan penuh percaya diri.
“Bisa memberi contohnya?” lagi-lagi Pak Zero bertanya pada muridnya itu.
“Pak, saya bisa memberi contoh!” jawab Udin tanpa diminta. Sementara Rahma yang semula akan memberi contoh, tidak jadi mengungkapkan pendapatnya.
‘Misalnya begini, Pak. 4 + 0 = 4, 4 – 0 = 4, dan ini berlaku bagi bilangan lainnya, termasuk nol itu sendiri!” lanjut Udin memberi penjelasan.
Pak Zero: “Ok, bagus Din! Selanjutnya, bagaimana tentang perkalian dengan nol?”
“Itu sih, gampang, Pak. Kalau kita mempunyai sebuah bilangan, lalu dikali dengan nol, maka hasilnya, pasti nol! Contohnya, 4 x 0 = 0, 10 x 0 = 0, dan seterusnya!” jawab Dirman, mendahului Jerry yang sedari tadi ingin berpendapat.
Pak Zero: “Bagus Dirman!”
Sementara itu, sejak tadi Tom berpikir tentang pembagian angka nol. Dia mengalami kesulitan yang tak terpikirkan sebelumnya.
“Pak, kalau pembagian dengan nol bagaimana? Dari tadi, saya memikirkan, misalnya 4 : 0, lalu 0 : 4, tapi saya kesulitan menemukan jawabannya, Pak! kata Tom berpendapat, tepat sebelum Pak Zero menanyakan hal itu kepada siswa-siswi lainnya.
Pak Zero: “Ayo, siapa yang bisa jawab pertanyaan Tom?”
Kali ini, kelas terdiam sediam-diamnya. Tampak seluruh siswa berpikir, mencoba mencari tahu jawab pertanyaan Tom. Bahkan, Jerry yang biasanya berulah, kini memainkan pensilnya di atas kertas, mengutak-atik pembagian dengan nol.
Sementara itu, Pak Zero sabar menunggu reaksi siswa-siswinya sambil menandai daftar hadir dengan tanda ceklist, yang sedari tadi lupa dilakukan saat mengecek kehadiran siswa-siswinya.
Sepuluh menit waktu berlalu, belum juga ada reaksi dari Tom dan teman-temannya.
Pak Zero: “Ok, sudah 10 menit bapak menunggu. Tapi, belum ada jawaban dari kalian! Karena itu, pertanyaan Tom bapak jadikan PR buat kalian!”
“Yaaaaaaaaa, bapak!” serempak, kelas bergema, menandakan kekecewaan.
Pak Zero sengaja melakukan hal itu, agar siswa-siswinya sendiri yang menemukan jawaban atas rasa keingintahuan mereka. Sebuah proses pembelajaran yang konstruktif. Ini sesuai teori pembelajaran yang pernah dipelajari Pak Zero, di Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia (dahulu bernama IKIP Bandung), yakni teori konstruktivisme dalam pembelajaran.
Pak Zero: “Ok, ok, kalian jangan kecewa! Kalau kalian merasa sulit, itu biasa, tidak masalah. Bahkan Brahmagupta sendiri, sang matematikawan India itu, sungguh mengalami kesulitan tentang operasi pembagian dengan nol. Hingga akhir hayatnya, dia tak mampu menemukan jawab masalah ini! Karena itu, bila kalian dapat memecahkan masalah pembagian dengan nol, berarti kalian hebat!”
Demikian kata Pak Zero, menyemangati siswa-siswinya, agar tidak kecewa.
“Kalau begitu, apakah sampai saat ini masalah pembagian dengan nol belum terpecahkan, Pak?” kembali Tom bertanya.
Pak Zero: “Tentu sudah, Tom! Karena itu, pertanyaanmu bapak jadikan PR. Tugas kamu dan kawan-kawan adalah mencari tahu jawabnya. Entah di perpustakaan, atau di mana saja!”
“Pak, yang berhasil memecahkan masalah pembagian dengan nol, siapa Pak? Apakah orang biasa atau matematikawan juga?” tanya Rahma, yang juga penasaran ingin tahu.
Pak Zero: “Tentang masalah pembagian dengan nol, baru terpecahkan sekitar 10 abad setelah masa Brahmagupta. Adalah Newton dan Leibniz yang membahas masalah itu dan berhasil memecahkannya.” Demikian kata Pak Zero, sambil menuliskan kedua tokoh yang baru saja disebutnya di papan tulis: NEWTON & LEIBNIZ, abad 17.
“Pak, NEWTON itu siapa?” tanya Udin, yang terdengar lucu sebab menyebut Newton sesuai apa yang tertulis, bukan seperti cara baca yang dicontohkan Pak Zero (yaitu “nyu ton”). :D
“Udah dong Din, jangan bertanya-tanya hal lain dulu. Sejak tadi kan, kita ingin tahu sifat pembagian dengan nol. Lalu, sebelumnya kita juga belum tahu, siapa matematikawan yang pertama kali menggunakan lambang nol seperti yang kita gunakan sekarang!” sewot Jerry, yang rupanya makin penasaran karena makin banyak hal yang belum terceritakan oleh Pak Zero.
Pak Zero: “Ok, ok, akan bapak ceritakan lanjutan kisahnya. Ayo, dengarkan bapak baik-baik!”
Baru saja kelas mulai tenang dan para siswa siap-siap mendengar lanjutan kisah angka nol dari Pak Zero, tiba-tiba lonceng berbunyi dua kali, menandakan waktu pelajaran matematika hari itu telah habis.
‘Baiklah anak-anak sekalian, berhubung waktu habis, dongeng angka nolnya bapak lanjutkan pertemuan berikutnya ya….”
***
Catatan: Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Selamat menantikan kisah selanjutnya! :D Dan, selamat menunaikan berbagai ibadah di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Sejarah Angka Nol (Part 1)

Waktu itu adalah hari Senin. Hari pertama Tom dan kawan-kawan masuk sekolah. Hari pertama belajar di SMP Pembangunan, satu-satunya SMP di pinggiran suatu kecamatan di ujung barat pulau Jawa.
Menurut jadwal yang sudah ditetapkan, dan sudah dicatat oleh Tom saat masa orientasi siswa (MOS), pelajaran pertama hari Senin adalah matematika. Satu pelajaran yang disukainya sejak SD dulu.
***
Lonceng sekolah berbunyi empat kali. Menandakan jam masuk sekolah dan pelajaran pertama akan segera dimulai. Para siswa segera masuk kelas, duduk dengan rapi, menunggu guru matematika mereka.
Saat menunggu, Tom membayangkan guru matematika yang akan masuk adalah seorang yang guru yang sudah tua dan ditakuti siswa-siswinya. Tom pernah mendengar dari kakak-kakak kelasnya bahwa guru-guru matematika di SMP Pembangunan terkenal sangat galak, ditakuti, dan tidak disukai siswa-siswinya.
Tiba-tiba lamunan Tom terpecah karena mendengar ucapan salam dari sang guru matematika. Ternyata, yang dibayangkan Tom salah. Guru matematikanya ternyata masih muda, dan sepertinya adalah guru baru di SMP Pembangunan. Setelah berdo’a dan lain sebagainya, tiba giliran sang guru mengenalkan diri sebelum memulai pelajaran.
“Anak-anak sekalian, sebelum kita mulai pelajaran, bapak akan perkenalkan diri bapak dulu, lalu bapak pun ingin mengenal satu-persatu kalian! Nama bapak adalah Al Zero. Orang-orang biasa memanggil Zero, tapi ada juga yang memanggil Al. Kalau ada yang mau kalian tanyakan, bapak persilakan!”
Demikian Pak Zero memperkenalkan diri.
Sambil menunggu pertanyaan, Pak Zero berusaha mengenali siswa-siswinya, dengan memanggil satu persatu nama mereka dari daftar hadir yang beliau bawa.
Kelas masih diam, siswa-siswi Pak Zero rupanya masih enggan bertanya. Baru saja Pak Zero akan bicara, tiba-tiba muncul pertanyaan.
“Pak, kenapa nama bapak Al Zero? Apa artinya?”


Ya, itulah pertanyaan singkat yang diajukan Udin, kawan sebangku Tom. Pak Zero tidak langsung menjawab, sedikit tersenyum dan sepertinya berpikir untuk menjawabnya.
“Ok, terima kasih, pertanyaan yang bagus, Din! Mm…kalian, selain Udin, mau tahu juga?
Serentak, semua siswa Pak Zero mengatakan, “Mauuuuuuuu…”. Mulai saat itu, terjadilah proses pembelajaran matematika melalui tanya jawab seperti berikut ini.
Pak Zero: “Mmm…Zero adalah satu kata yang berasal dari bahasa Inggris. Mm… kalian sudah pernah belajar bahasa Inggris, kan?”
Tak ada siswa yang mengaku, kelas kembali terdiam. Semua siswa diam. Terdiamnya mereka karena memang tak ada satu pun di antara mereka yang pernah belajar bahasa Inggris. Sungguh berbeda nasib mereka dengan siswa-siswa yang ada di kota yang sejak SD sudah pernah belajar bahasa Inggris, baik melalui kursus atau dari sekolah.
Pak Zero baru sadar bahwa yang dihadapinya adalah siswa-siswi SMP, yang sewaktu SD belum pernah mempelajari bahasa asing, termasuk bahasa Inggris.
Pak Zero: “Ok, jadi, zero itu artinya nol! Ya, nol!
“Lalu, kenapa bapak dinamai Zero alias Nol?” tanya Dirman dengan rasa ingin tahu yang tinggi!
Pak Zero: “Orang tua bapak seorang pedagang yang cukup gemar membaca, khususnya tentang sejarah matematika. Saat ada dalam kandungan, orang tua bapak ingin sekali menamai anaknya dengan nama yang berasal dari istilah matematika.”
Para siswa menyimak dengan baik apa yang diceritakan Pak Zero.
Pak Zero: “Dari sekian banyak istilah matematika yang diketahui orang tua bapak, hampir semuanya tidak cocok untuk dijadikan nama. Mereka terus berpikir dan mencari, hingga, entah dengan sebab apa, orang tua bapak menamai bapak dengan Al Zero. Katanya sih, terinspirasi dari nama penyanyi terkenal, tapi nama itu erat kaitannya pula dengan sejarah matematika, khususnya tentang angka nol!”
“Kalau begitu, bapak tahu dong sejarah angka nol?” tanya Tom, tiba-tiba berani mengungkapkan rasa ingin tahunya.
“Iya, Pak, ceritakan tentang angka nol pada kami!” pinta Jerry, seorang siswa yang duduk di pojok kanan belakang kelas.
Pak Zero: “Ok, akan bapak ceritakan! Sekalian ini anggap saja sebagai pembuka topik yang akan kita pelajari nanti. Cerita ini cocok dengan pelajaran yang akan kita pelajari, yaitu tentang bilangan bulat!
“Horee… pelajaran matematikanya lewat dongeng!” kata Udin dalam hati. Udin pantas bergembira, sebab sejak SD dia memang kurang menyukai matematika, seringnya takut belajar satu pelajaran ini.
Pak Zero pun memulai ceritanya, tentang nol. Ya, tentang satu kata yang nyantel di namanya. Beginilah ceritanya.
“Konon, dibandingkan angka-angka yang lain, nol merupakan angka yang relative baru ditemukan! Menurut para ahli sejarah matematika, gagasan tentang nol pertama kali ditemukan di catatan Brahmagupta pada abad 7 Masehi.”
Udin: “Pak, Brahmagupta itu siapa?”
Pak Zero: “Brahmagupta adalah salah seorang matematikawan yang berasal dari negeri India. Ya negerinya tuan Takur, yang terkenal dalam film-film India itu!”
“Ha ha ha…” hampir semua siswa tertawa mendengar cerita Pak Zero, karena menyebut satu tokoh terkenal (bengis) dalam film India.
“Konon, di catatan Brahmagupta, angka nol dilambangkan tidak seperti sekarang. Lambangnya waktu itu baru berupa titik. Bukan bundaran seperti sekarang!”
“Berarti, bukan Brahmagupta dong yang menemukan angka nol? Lalu siapa, Pak, yang pertama kali menggunakan lambang 0 seperti sekarang?” tanya Tom dengan sangat kritis. Pertanyaan yang tak terduga, mengagetkan Pak Zero.
Apa tanggapan Pak Zero terhadap pertanyaan, Tom? Tunggu artikel selanjutnya. Sabar ya… :)

Rahasia Rumus Cepat Matematika

Dulu, ketika saya masih baru menjadi mahasiswa baru tingkat pertama, saya berkenalan dengan salah seorang mahasiswa baru lainnya yang di kemudian hari menjadi teman baik saya. Ketika awal perkenalan, kami pun ngobrol kesana-kemari. Tanya sana-tanya sini. Jawab sana, jawab sini. Hingga ia pun akhirnya bercerita bahwaa nilai tes Matematika Dasar-nya, yaitu salah satu mata pelajaran yang diujikan di UMPTN*, adalah 100 alias benar semua.
Mendengar ceritanya tersebut, saya pun terkagum-kagum dibuatnya. Dalam pikiran saya, saya berkesimpulan “Wah ia pasti orang yang sangat pandai”. Rasa kagum saya mendorong rasa ingin tahu saya tentang pengetahuannya dalam matematika. Akhirnya, dalam masa awal perkenalan itu, saya ajak ia ngobrol tentang matematika yang sudah pernah kami pelajari ketika semasa SD sampai SMA dulu.
Dari obrolan tersebut, saya jadi tahu, ternyata ia benar-benar luas pengetahuan tentang matematika yang sudah dipelajarinya. Hingga akhirnya, mungkin untuk menunjukkan kepiawaiannya, ia mengajak saya adu cepat mengerjakan soal matematika.
Mendapat tantangan itu, sebenernya saya ngeper juga. Karena saya merasa tak sepandai dirinya. Namun, karena ini namanya juga bukan lomba dan bukan apa-apa, saya sih mau saja waktu itu. Soal-soal pun dipilih secara acak dari buku kumpulan soal-soal latihan tes UMPTN* dan EBTANAS** beberapa tahun sebelumnya yang masih rajin ia bawa ke mana-mana. Kemudian, adu cepat menyelesaikan soal matematika pun dimulai.
Bagaimana hasilnya? Siapa yang tercepat?


Ternyata benar, dalam beberapa menit saja, teman saya itu berhasil menyelesaikan semua soal yang sudah dipilih tadi (karena yang dipilih cuma 3 soal sih). Dan ia keluar sebagai yang tercepat, menjadi pemenang. Sedangkan saya, satu soal pun belum mampu saya selesaikan. Waktu itu, saya terlalu berkutat dengan soal nomor pertama yang lumayan sukar untuk ukuran saya waktu itu. Walau sudah dengan segenap kemampuan saya berusaha menyelesaikannya, tapi ternyata, sampai waktu habis belum ketemu juga. Saya pun mengakui kelebihan dan kehebatannya.
Dengan sedikit malu-malu, saya bertanya padanya tentang soal yang belum bisa saya selesaikan tersebut. Sambil saya tanyakan pula kenapa ia begitu cepat bisa menyelesaikan soal-soal tersebut. Soal yang waktu itu belum bisa saya selesaikan adalah seperti berikut ini.

Soal: Bila a + 1/a = 5, maka nilai dari a3 + 1/a3 =…

Dengan cepat teman saya itu pun menyelesaikan soal tersebut seperti berikut ini:

a3 + 1/a3 = (a + 1/a)3 – 3a.1/a(a + 1/a) = 53 – 3(5) = 125 – 15 = 110.

Melihat cara penyelesaiannya, saya hanya bisa melongo waktu itu. “Cuma satu baris? Padahal saya mencoba menyelesaikannya berbaris-baris, dan belum ketemu juga”, itu yang ada di pikiran saya. Kemudian, saya pun bertanya ke teman saya itu, kenapa cara pengerjaannya seperti itu?
Dengan senang hati, ia pun menjelaskan ke saya. Ia katakan bahwa, soal semacam tersebut dapat dengan mudah diselesaikan dengan rumus “cepat” berikut ini.

a3 + b3 = (a + b)3 – 3ab(a + b) ………………………………..(1)

Dengan mengganti b dengan 1/a, katanya, maka soal tadi dapat diselesaikan dengan cepat seperti yang sudah dikerjakannya tadi.
Saya yang tak terbiasa menggunakan rumus “cepat” ketika di SMA dulu, penasaran ingin tahu alasan kenapa rumus “cepat” tersebut bisa dipakai. Tapi sayang, teman saya itu tak memberi tahu saya. Malahan ia menambah lagi rumus cepat yang sudah ia ketahuinya, yaitu:

a3 – b3 = (a – b)3 + 3ab(a – b)……………………………….(2)

Akhirnya, ngobrol-ngobrol pun beres. Ia bergegas pulang menuju kost-kost-annya. Saya pun begitu, pulang dengan rasa penasaran yang mengganjal.
Di kost-kost-an, dengan penuh rasa penasaran ingin tahu, saya pun mengutak-atik rumus “cepat” yang telah ia gunakan tersebut. Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya, terpecahkan juga rahasia rumus “cepat” yang dipakai teman saya tersebut. Saya berhasil menelusuri asal-muasal rumus “cepat” tersebut, berhasil menguak rahasianya. (Duh rasanya begitu senang sekali, tak bisa saya ekspresikan dengan kata-kata).
Hasil penelusuran saya tersebut, setelah saya rapikan, seperti berikut ini.

(a + b)3 = (a + b)2(a + b)
= (a2 + 2ab + b2)( a + b)
= a3 + a2b + 2a2b + 2ab2 + b2a + b3
= a3 + b3 + 3a2b + 3ab2
= a3 + b3 + 3ab (a + b)
Jadi, (a + b)3 = a3 + b3 + 3ab (a + b).

Sehingga, a3 + b3 = (a + b)3 – 3ab (a + b). Rumus “cepat” (1) dapat saya buktikan kebenarannya. Kemudian, dengan cara serupa, saya pun berhasil menelusuri asal-muasal rumus “cepat” (2).

Walaupun apa yang telah saya lakukan tersebut sederhana, tapi bagi ukuran saya waktu itu adalah sesuatu yang menggembirakan hati, menyenangkan pikiran, dan memuaskan dahaga keingin-tahuan saya.
Sejak saat itu, bila ada rumus-rumus “cepat” yang saya temui di buku-buku bimbingan tes, saya pun terpacu untuk menelusuri asal-muasalnya. Dengan cara seperti itu, saya seringkali berhasil memecahkan rahasia rumus-rumus “cepat” yang selama ini beredar luas di kalangan siswa yang mengikuti bimbingan test.
Baiklah, segitu dulu saja ceritanya ya…, lain kali insya Allah saya akan membahas baik-buruknya penggunaan rumus “cepat” (Ada satu cerita yang sangat menggelikan tentang hal ini. Mau tahu? Silakan tunggu di postingan mendatang…). Sampai di sini dulu ya…, mudah-mudahan bermanfaat.
Sebagai bahan latihan untuk Anda, cobalah telusuri asal-muasal rumus-rumus “cepat” berikut ini.
  1. Persamaan garis yang melalui titik (0, a) dan (b, 0) adalah ax + by = ab.
  2. Perhatikan gambar berikut. Panjang PQ dapat ditentukan dengan mudah, yaitu:
    PQ = (AP. DC + DP. AB)/(AD)


    Sumber : mathematicse.wordpress.com 

Materi Matematika Khusus Kelas 6 SD